“Tadi kamu kemana aja
mas ?” Suaraku terdengar parau.
“Mas sibuk tadi sayang,
ada sedikit project sama anak-anak Sastra. Gimana sakitmu ? Sudah mendingan ?”
Suara khas mas Pi membuatku sedikit
nyaman.
“Sudah mendingan mas,
sudah minum obat. Tadi juga aku nggak ngampus, seharian di rumah.”
“Syukurlah kalau
begitu. Besok mas ke kontrakan mu ya, sekarang kamu istirahat aja.”
“Makasih yaa mas.”
Nadaku sedikit menggantung.
“Untuk apa ?”
“Untuk semua perhatian
mas.” Ucapku ragu.
Hening sejenak sebelum
mas Pi menanggapi percakapan.
“Bayar ya, traktir mas
nonton bioskop. Hahaa.” Tawa mas Pi pecah.
“Ajeng kira gratis
perhatiannya. Ahh mas Pi.”
“Ajeng bayar pakai
perhatian juga lah, biar impas.”
“Bukannya selama ini
Ajeng selalu perhatiin mas ya ?”
“Ya itu makanya,
seharusnya mas yang bilang terimakasih. Yaudah Ajeng istirahat ya, selamat
malam.” Mas Pi mengakhiri pembicaraan.
Percakapan dengan mas
Pi selalu menyenangkan. Sejak percakapan secara tidak sengaja di Whats’app enam
bulan yang lalu, hampir setiap malam mas Pi menelponku. Jika diukur dengan
waktu, enam bulan memang terbilang belum lama. Namun,segala hal yang dilalui
bersama selama enam bulan itu membuat semuanya terasa sudah lama. Seminggu
setelah percakapan di Whats’app waktu itu, kami memutuskan untuk bertemu di
kantin belakang kampusku. Kebetulan kampusku dan mas Pi bersebelahan. Pertemuan
yang menyenangkan karena mas Pi juga sosok yang sangat menyenangkan. Meski mas
Pi gondrong, lesung pipi dan barisan giginya yang tak rata namun terlihat indah
membuat kesan garang pada dirinya hilang tak berbekas. Dia terlihat manis,
bukan sangar. Belum lagi suaranya yang serak-serak basah, membuat rindu bila
lama tak mendengarnya. Banyak hal yang menarik dari mas Pi, kepeduliannya
terhadap lingkungan, prestasinya, kemampuan berorganisasi, hampir semua yang
baik terlihat dari mas Pi, kecuali rambut ikal godrongnya yang selalu dibiarkan
terurai dan seringkali membuat mata sipitnya semakin tak terlihat.
Sejak bertemu dengan
mas Pi, aku sering tertawa sendiri mengingat tingkah-tingkah kocaknya. Meski
terlihat berwibawa dalam memimpin organisasi, namun dihadapan teman-temannya
mas Pi tetaplah sosok yang kocak, dan sering melakukan hal-hal konyol yang tak
jarang jadi bulan-bulanan teman-temannya. Ya, itulah sisi lain dari mas Pi.
Seperti janjinya
semalam, malam ini mas Pi menjenguk ku di kontrakan. Seperti janji-janji
sebelumnya, mas Pi selalu menepati janji. Seperti malam ini, aku kembali duduk
berdua di beranda rumah kontrakanku. Ditemani kopi, dan tentunya celotehan mas
Pi – obat yang paling mujarab bagi kesedihanku mungkin juga sakit demamku.
“Mana sakitnya ? Kamu
sehat-sehat aja tuh, bohongin mas ya supaya mas main kesini.” Mas Pi
mengucek-ngucek rambutku.
“Sakitnya langsung
sembuh waktu mas datang.”
“Berarti kalau lain
kali kamu sakit, mas nggak perlu panggil dokter dong.” Mas Pi, mengibas rambut
gondrongnya.
“Ya enggak lah, emang
mas Pi siapa panggilin dokter buat Ajeng segala.”
Mas Pi menyeruput
kopinya, diam sejenak. Mungkin faham arah pembicaraanku barusan. Mata sipitnya
menatapku tajam, penuh makna. Aku mendekatinya, mengikat rambut gondrongnya yang
membuat sakit mata melihatnya. Mas Pi tersenyum, lagi-lagi penuh makna. Kali
ini senyumnya jelas terlihat, karena rambut ikalnya tak lagi menutupi muka.
Menit berikutnya benar-benar hening. Hanya semilir angin yang terasa
menusuk-nusuk tubuh. Sama halnya dengan semua ke khawatiran yang selalu datang
menusuk-nusuk perasaan yang sempurna telah terbuai oleh harapan.
Aku merubah posisi
duduk, melipat kedua lenganku – menahan dingin. Mas Pi memecah keheningan.
“Masuk aja yuk, kamu
belum sembuh total.” Mas Pi menarik lenganku, masuk ke dalam rumah.
“Mas pulang aja ya,
udah larut juga. Kamu istirahat supaya besok bisa liat mas debat.”
Aku hanya diam tak
berkata, mengangguk, tanda setuju.
“Mas pergi dulu.” Ucap
mas Pi, mencium keningku. Lalu pergi menuju sepeda motornya.
“Mass...” aku
menghentikan langkah mas Pi.
“Apa sayang ?” Mas Pi
menoleh.
“Makasih ya.” Ucapku
sambil tersenyum pada mas Pi.
Mas Pi hanya balas
tersenyum, lagi-lagi penuh makna, kemudian mengendarai sepeda motornya.
*
Tepuk tangan yang
meriah dari penonton menambah sesak gedung serbaguna yang penuh dengan penonton
dari masing-masing kampus. Lagi-lagi mas Pi menunjukan pesonanya. Kepiawaiannya
dalam berbicara, ditambah wawasan luas serta pengalaman lomba-lomba sebelumnya
membuat Ia kembali berhasil membawa timnya menang pada tingkat Nasional. Mas Pi
memang seorang pemimpin yang baik.
Dari kejauhan aku
melihat mas Pi yang sejak tadi disalami oleh teman-temannya. Dari jarak sejauh
ini, aku tersenyum sendiri melihatnya. Mengingat tingkah lakunya, semua
perhatiannya, candaanya, semua tentangnya, membuatku bangga bisa mengenalnya
sedekat ini. Tampak dari jauh mas Pi melambaikan tangannya padaku,
mengisyaratkanku untuk menunggunya sebentar.
“Gimana mas mu ? Keren
kan ?” Mas Pi menghampiriku.
“Nggak keren pun
palingan juga muji diri sendiri.”
“Ah Ajeng, yang lain
bilang mas keren kok. Kamu nggak pernah suka mas lebih bagus dari kamu.” Mas Pi
mencubit perutku. Aku menghindar, dan kami kejar-kejaran. Kemudian keasyikan
kami terganggu dengan kedatangan seorang gadis cantik menggunakan dress merah maron yang terlihat sangat indah
berpadu dengan kulitnya yang putih. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai,
matanya yang sipit menunjukan bahwa gadis ini keturunan Tionghoa.
“Mas Pi.” Gadis itu
memanggil mas Pi, kemudian memeluknya.
“Selamat ya mas ku,
Oshin dari tadi cari mas Pi.” Gadis itu melepas pelukannya.
Aku sejak tadi masih
mematung memperhatikan mereka.
“Makasih ya, Oshin
sayang.” Mas Pi memberikan senyum manisnya pada gadis itu.
“Kapan nonton nya nih ?
Mas Pi bohong ah.” Gadis itu semakin terlihat manja pada mas Pi
Aku masih diam
memperhatikan, meskipun diantara keduanya tidak ada yang menghiraukan
keberadaanku. Kepalaku mulai penuh dengan pertanyaan. Hati dan perasaanku
semakin terasa tak menentu. Ah apa pula yang aku fikirkan ? Bukankah mas Pi
memang bukan siapa-siapaku ?
“Gampang itu, terserah
Oshin maunya kapan. Kalau mas nggak sibuk mana pernah mas nolak.” Mas Pi
menatap ramah gadis didepannya. Sementara gadis itu juga tersenyum sumringah
mendengar perkataan mas Pi.
“Oh ya Oshin, kenalin
ini temen mas Pi.” Mas Pi menoleh padaku
“Ajeng.” Aku tersenyum
seraya mengulurkan tangan.
“Oshin.” Gadis itu
balas tersenyum dan menjabat uluran tanganku.
“Yaudah deh kalo gitu
Oshin pergi duluan ya mas. Ditunggu janjinya.” Gadis itu mengepalkan tinjunya
pada mas Pi.
“Oke dehh Oshin
sayang.” Mas Pi meyakinkan.
Gadis itu pergi. Aku
masih diam menahan berjuta perasaan, juga menunggu penjelasan mas Pi. Mas Pi
menatapku penuh makna. Mungkin Ia tahu apa yang aku fikirkan.
“Makan yuk, mas
traktir.” Ajakan mas Pi memecah keheningan beberapa saat.
Aku hanya mengangguk,
masih diam. Berharap mas Pi bisa mengerti kediamanku. Berharap dia mau
menjelaskan semuanya tanpa harus kutanya terlebih dahulu. Tapi ternyata aku
salah, bahkan sepuluh menit di tempat makan ini kami hanya diam setelah memesan
makanan. Mas Pi memang selalu begitu, tak pernah bicara jika aku diam seperti
ini. Dia lebih memilih untuk membiarkanku menikmati kesedihanku sendiri.
Sebelum aku bicara, mas Pi tidak akan bertanya terlebih dahulu. Ya, laki-laki
memang terkadang sulit sekali peka terhadap perasaan.
Akhirnya dengan
sisa-sisa kekesalanku, sisa-sisa kekuatanku malam ini. Juga dengan sejuta
kebingungan yang membenak dan membuat sesak ini, aku memberanikan diri untuk
membuka pembicaraan. Setidaknya aku harus tahu sejauh mana mas Pi menganggap
kedekatan kami selama ini.
“Mas...” Aku menunduk,
tak mampu menatap wajah mas Pi.
“Apa sayang ?” Mas pi
mencoba melihat wajahku.
“Apa mas emang manggil
semua cewek dengan sebutan sayang ?” Aku mengangkat wajahku, memberanikan diri
mentap wajah mas Pi.
Mas Pi tampak terkejut
dengan pertanyaanku. Menatapku tajam. Tapi dari matanya aku tahu, ada perasaan
iba yang terselip. Mungkin mas Pi iba melihatku yang terlanjur jatuh dalam
harapan yang aku buat sendiri. Mas Pi menyalakan rokoknya, lantas sedikit
tertawa menanggapi pertanyaanku.
“Ahaaa, nggak semua
cewek mas panggil sayang. Buat yang nggak keberatan di panggil sayang aja.”
Kali ini tatapan mas Pi tampak seperti seekor kancil yang akan mengelabui
musuhnya.
“Kamu keberatan mas
panggil sayang ?” Mas Pi melanjutkan perkataannya.
“Aku nggak keberatan
kalau kamu emang sayang aku mas.” Mataku mulai berkaca-kaca.
Mas Pi diam, kali ini
Ia yang tak berani menatapku.
“Mas nggak pernah mikir
hubungan kita udah sejauh mana ? Kita selalu ngomongin masa depan, ini itu lah.
Ya walaupun Ajeng nggak tahu mas Pi serius atau cuma bercanda, tapi bagi
seorang cewek itu udah bukan hubungan biasa lagi mas. Mas emang nggak pernah
ngomong sayang, tapi semua cewek juga tahu kalau kedekatan kita ini udah bukan
sekedar teman biasa.” Akhirnya tangisku benar-benar pecah.
Mas Pi mendekatkan
kursinya. Menyeka air mataku yang sejak tadi sudah mengalir deras. Menatapku
dengan tatapan yang tulus, meski aku belum tau arti dari tatapan itu.
“Maafkan mas kalau
terlalu berlebihan memperlakukan Ajeng.”
Dari jawaban singkat
itu aku sudah tahu maksud dari semuanya.
*
Seminggu sudah sejak
pengakuan Mas Pi. Hubungan kami berakhir dingin, aku tidak pernah
menghubunginya lagi. Begitu pula mas Pi, tidak lagi menelponku setiap malam.
Mas Pi benar-benar menghilang. Di kampus pun tak pernah kelihatan. Satu minggu
ini aku lalui dengan susah payah. Terbiasa dengan celotehan mas Pi setiap
malam, membuat tidur malamku menjadi sangat susah. Ah bagaimana mungkin aku
bisa sebodoh ini. Berharap terlalu banyak, kemudian membiarkan diriku terjebak
dalam sebuah hubungan yang sangat tidak jelas seperti ini. Memang terkadang
rasa nyaman membuat kita melupakan hal-hal penting lainnya. Membuat kita takut
untuk memperbaiki keadaan, takut kehilangan rasa nyaman itu, padahal dengan
sendirinya rasa nyaman itu juga akan hilang seiring dengan berjalannya
waktu.Begini rasanya bertepuk sebelah tangan. Sakit sekali. Rasanya seperti
baru putus cinta, padahal jadian saja tidak pernah. Mungkin lebih tepatnya
putus harapan.
Aku tidak baik-baik
saja. Terlalu besar perasaan yang sudah ku jaga untuk mas Pi. Ingin rasanya aku
menghubunginya, tapi lihatlah Dia sama sekali tidak memperdulikanku. Bahkan
jika memang mas Pi menganggap semua ini biasa-biasa saja pastinya Ia sudah
menghubungiku seperti biasa. Meneleponku sebelum tidur. Mengingatkanku untuk
tidak bangun kesiangan. Menemaniku mengerjakan tugas. Datang bersama ke Klub
Sastra. Segalanya, bahkan setiap bersamaku mas Pi selalu mengijinkan aku untuk
mengikat rambut gondrongnya. Ah, buakankah hubungan kami sudah terlalu dekat ?
Apa memang benar mas Pi tidak mempunyai perasaan sedikit pun padaku ? Lalu apa
maksud dari semua kedekatan ini ? Apa makna panggilan sayang yang selalu dia
ucapkan padaku ?
Oh ya aku lupa, mas Pi
memang memanggil semua gadis dengan sebutan sayang.
*
Genap satu bulan sudah
mas Pi menghilang. Aku masih juga sering membatin, mengumpat diri sendiri. Baru
menyadari kebodohan sendiri. Satu bulan yang menyedihkan. Meski kini aku
memilih untuk membenci mas Pi, tapi sebenarnya aku masih mencari tahu tentang
keberadaan mas Pi. Aku memutuskan untuk melupakan perasaan bodoh itu.
Menyibukkan diri dengan rajin menulis dan datang ke Klub Sastra. Meski tempat
itu juga menyimpan banyak kenangan bersama mas Pi, setidaknya aku harus
melanjutkan hidupku. Meski tanpa mas Pi, tanpa kabarnya juga. Aku hanya perlu
melalui proses, biarkan waktu yang akan mengobati luka ini.
Saat aku mulai
menyibukkan diri, saat itulah mas Pi kembali hadir dalam hidupku.
“Ajeng, mas kangen.”
Pesan singkat mas Pi yang ke ‘seratus’.
Aku mematung. Sudah
tiga hari mas Pi mencoba menghubungiku berkali-kali. Telepon, pesan singkat,
blackberry messenger, semua cara yang bisa digunakan untuk menghubungiku. Aku
masih saja egois, berpura-pura tidak memperdulikannya. Padahal aku juga sangat
rindu pada mas Pi. ah, entahlah. Mas Pi benar-benar membuatku bingung. Kemarin
setelah penjelasan singkat penuh makna di tempat makan itu dia bahkan
menghilang cukup lama. Sekarang tiba-tiba datang lagi, dan dengan mudahnya
bilang kangen berat segala. Jadi bagi mas Pi aku apa ? Hanya pelampiasaanya ?
Datang ketika rindu, lantas pergi lagi ketika bosan ? Aku masih benar-benar
kesal dengan tingkah mas Pi.
“Ajeng sayang, mas
pengen ketemu. Mas pengen jelasin semuanya, kamu salah faham. Please angkat
telpon mas, kasi mas kesempatan.” Itu adalah pesan singkat mas Pi yang
terakhir. Lima jam yang lalu, sejak itu ia berhenti menghubungiku. Aku semakin
penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan mas Pi ? Kenapa dia begitu
berjuang untuk menghubungiku ? Apa memang benar aku salah faham ?
Akhirnya aku sempurna
membatin sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu, rasa penasaran itu, rasa rindu
itu, mungkin juga rasa cinta itu yang kemudian membuat aku berbalik menghubungi
mas Pi. ah, lagi-lagi cinta sukses mengalahkan pendirian.
*
“Pit..pit...” Suara
klakson motor mas Pi.
Aku bergegas membukakan
pintu. Saat aku membuka pintu, mas Pi tepat berada di depanku. Kami bertatapan
lama, lantas kemudian mas Pi memelukku. Pelukan yang begitu hangat, tak pernah
mas Pi memelukku seerat ini. Aku mulai merangkai penjelasan sendiri. Apa mas Pi
juga punya perasaan yang sama padaku ? Keterlaluan ini namanya kalau memang tak
ada rasa. Aku segera meyadari hal itu, kulepas pelukan hangat mas Pi. Mas Pi
mentapku, sepertinya siap untuk memulai penjelasan.
Hening terlalu lama.
Mendadak keadaan juga terasa canggung. Tak pernah diam selama ini. Aku semakin
salah tingkah, ingin memulai pembicaraan tapi rasanya juga canggung sekali.
Rupanya mas Pi juga menyadari hal itu. Kami saling bertatapan, mungkin juga
saling membaca fikiran, lantas kemudian tersenyum malu, lalu tertawa
perlahan-lahan. Akhirnya keheningan itu terpecahkan. Ah tingkah kami tak ubah
dua orang yang baru jatuh cinta.
“Kenapa jadi aneh gini
ya ?” Mas Pi menyibak rambut gondrongnya.
“Entahlah, mungkin
karena kita sudah tidak terbiasa bersama lagi.”
Hening lagi, sepertinya
mas Pi sedang merangkai kata-kata.
“Maafin mas ya sayang,
sekarang kamu boleh tanya apa aja sama mas pasti mas jawab.”
“Kamu boleh minta
penjelasan apapun pasti mas jelasin.”
Aku sumringah mendengar
perkataan mas Pi barusan. Tentu saja aku akan bertanya sepuas hati, minta
penjelasan sepuas-puasnya. Sekalian saja melampiaskan semua kekesalanku pada
mas Pi, memuntahkan semua kebingunganku selama ini.
“Baiklah.” Mataku tajam
menatap mas Pi. Kali ini aku persis seperti seekor harimau yang akan menerkam
mangsanya.
Sementara itu, kulihat
wajah tenang mas Pi penuh pasrah. Tak ubah seperti seorang terpidana mati yang
menunggu waktu eksekusi.
“Hubungan kita selama
ini kau namai apa mas ?”
“Kenapa mas panggil
Ajeng sayang ?”
“Kenapa mas nggak
pernah bilang sayang, sementara perlakuan mas ke Ajeng sudah berlebihan ?”
“Sebenarnya perasaan
mas ke Ajeng itu gimana ?”
“Lalu kenapa mas
panggil cewek itu sayang juga ?”
“Mas menghilang kemana
aja ?”
“Kenapa mas menghilang
gitu aja ?”
“Kenapa mas nggak
ngubungin Ajeng ?”
“Kenapan mas baru
muncul setelah Ajeng memutuskan buat ngelupain mas ?”
Nafasku tersengal. Aku
berbicara tanpa jeda. Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur begitu saja dari
mulutku. Mas Pi sejak tadi hanya menatapku takjim. Tak tahu apa yang sedang ada
di fikirannya. Bisa saja dia ilfil melihatku
begitu bersemangat mengutarakan pertanyaan.
“Udah sayang
pertanyaannya ?”
“Mas bingung mau jawab
dari mana.” Kali ini mas Pi malah tersenyum.
“Baiklah, kemarin mas
sibuk sekali. Baru habis mendaki di luar pulau. Mas sengaja nggak ngubungin
Ajeng. Mas pengen meyakinkan perasaan mas dulu. Kata orang bijak cinta itu bisa
diuji dengan waktu. Jadi mas mau buktikan perkataan itu. Kebetulan mas sibuk
juga, jadi sekalian aja.” Mas Pi menatapku yakin.
Aku tak balas menatap,
bahkan memalingkan pandanganku. Ya, kali ini aku persis seorang pacar yang
sedang menunggu pengakuan selingkuh dari pacarnya.
“Ajeng tahu, memendam
rindu itu sakit. Menyumpalnya dengan berbagai kesibukan itu bikin perih. Mas
kira, mas begini sama Ajeng hanya karena kita dekat. Tapi ternyata mas salah,
semakin jauh dari Ajeng mas malah semakin menyadarinya.” Mas Pi melanjutkan
pengakuannya.
Aku mulai membatin
lagi. Syukurlah ternyata bukan aku saja yang menanggung perihnya menahan rindu
itu mas. Ternyata kau juga sama, setidaknya rinduku berbalas.
“Oh iya, soal gadis
cantik di acara lomba mas itu, dia sepupu mas. Mas emang panggil semua orang
yang mas sayang dengan panggilan ‘sayang’ , termasuk semua adik-adik mas.”
“Mas senang kamu
cemburuan.” Mas Pi mencolek pipiku.
Aku menatapnya garang.
“Cemburuan ? Emangnya
mas Pi siapa nya Ajeng ? Kita kan nggak pernah pacaran.”
“Lalu selama ini apa
dong sayang.” Mas Pi tak mau kalah, juga menatapku garang.
“Kita nggak punya hubungan
aa-apa kan ? Mas nggak pernah bilang sayang, mas nggak pernah nembak Ajeng.”
Mas Pi mengibas rambut
gondrongnya, lantas tersenyum licik padaku.
“Sayang, umur kamu
berapa ? Kamu udah dewasa kan ? Kita bukan anak SMA lagi kan yang harus bilang
‘aku cinta kamu, mau nggak jadi pacar aku’ dulu untuk memulai suatu hubungan. ?”
“Ya tetap aja, mas Pi
nggak pernah bilang sayang. Semua tingkah mas Pi samar dimata Ajeng.”
“Bagi mas cinta itu
bukan kata-kata, tapi perbuatan. Semua perbuatan mas, perhatian mas kurang
jelas buat Ajeng ?” Mas Pi sedikit melotot.
“Jadi mas cinta Ajeng
?” Aku bertanya dengan polosnya.
Mas Pi tertawa
terbahak-bahak. Tak memperdulikan wajah kesalku.
“Iya sayang, mas cinta
kamu mas sayang kamu, ‘PUAS’ ?”
“Kamu nggak peka banget
sama perasaan mas.” Mas Pi menghela nafas panjang.
Aku masih dengan wajah
polosku. Bertanya semaunya, menjawab pun semaunya. Tak menghiraukan mas Pi yang
telah lelah menjelaskan semuanya sejak tadi. Bagiku, belum puas, belum jelas
semuanya, belum selesai. Sudah cukup lama aku menanggung derita akibat semua
ketidak jelasan ini.
“Ya mana aku tahu kalau
kamu memperlakukan semua teman cewek mu seperti itu kan mas.”
“Hahaha ya enggak lah,
enak saja. Susah kali dapat perhatian mas gondorng kece seperti mas ini.” Kali
ini tawa mas Pi lebih keras.
“Jadi, kita pacaran ?
Jadi perasaan Ajeng selama ini nggak bertepuk sebelah tangan ?” Mas Pi
menimpukku dengan bantal. Aku mengaduh kesakitan. Kemudian dia duduk di
sebelahku.
“Dari awal mas yang
takut cinta mas bertepuk sebelah tangan.” Mas Pi merangkulku.
Aku masih tak percaya
semua penjelasan ini.
***