Selasa, 30 September 2014

Ratu Sibuk

“Shit” Aku mengumpat untuk kesekian kalinya.

“Ah jaringan sialan” Akhirnya aku membanting handphoneku ke atas kasur.

Kak Gamar yang sedang fokus membaca novel terganggu dengan gerutuuanku yang semakin menjadi.

“Oshin kenapa ?” Wajah sendunya mengalihkan pandanganku.

Aku menghela nafas panjang. Berusaha menafsirkan kekesalanku.

“Penting ya eksis di sana sini, aktif ini itu, nunjukin ke orang-orang kalo kita bisa semuanya.
 Penting ya kak ?”

“Penting dong” Kak Gamar menjawab santai, masih berkutat dengan novel bacaannya.

“Ih norak banget kak, itu sih namanya cari tenar aja biar dikira multi talent.” Aku semakin kesal.

“Kalau dia memang multi talent gimana ?”

“Aduh, multi talent dari mana ? Semua organisasi diikutin, sok eksis sana sini. Ga pernah kasi kesempatan buat yang lain.”

Kak Gamar meletakkan novel bacaannya. Tertarik dengan keluhanku

“Oshin ngomongin siapa sih ?”

Aku menunjukkan akun instagram seseorang yang sejak tadi ku buka kepada kak Gamar

“Oh Chintya, memangnya Chintya kenapa ?”

“Kak Gamar kenal ?”

“Kenal dong, kakak pernah ketemu waktu pemilihan putri perbatasan  beberapa waktu lalu.”

“Tuh kan alay, semuanya diikutin cantik aja nggak. Mau jadi putri, hahhaaa.”  Tawa ku pecah.

“Oshin kenapa ? Chintya baik kok orangnya. Dia memang nggak cantik-cantik amat, nggak pinter-pinter amat. Tapi dia punya kemauan yang keras untuk belajar dan nunjukin kalo dia bisa membanggakan orang-orang disekitarnya.”

Ocehan kak gamar semakin membuatku kesal. Pembelaanya pada Chintya jelas menyudutkanku.
“Oshin nggak berteman sama Chintya ?” kak Gamar menunjukan akun instagram ku yang tidak memfollow Chintya.

“Ngapain berteman sama ratu sok sibuk, temen-temen Oshin juga nggak ada yang suka.”

“Terus kalo nggak suka kenapa di stalking terus ?”

“Pengen liat aja sejauh mana dia mampu berkarya”

“Terus Oshin mau terusan jadi penonton  ? Oshin itu iri sama Chintya, dia bisa aktif disana sini tapi Oshin nggak kan ? Padahal Oshin juga pengen kan jadi ratu sibuk kayak Chintya ?”

“Oshin bukannya nggak bisa. Malah Oshin lebih berpotensi dari Chintya, hanya saja tekad Oshin lemah. Makanya cuma jadi penonton dan pengamat terus”

Aku terdiam, mengaku kalah. Meng- iya kan  dalam hati.





Sabtu, 06 September 2014

S a y a n g . . .


“Tadi kamu kemana aja mas ?” Suaraku terdengar parau.
“Mas sibuk tadi sayang, ada sedikit project sama anak-anak Sastra. Gimana sakitmu ? Sudah mendingan ?” Suara khas mas Pi membuatku  sedikit nyaman.
“Sudah mendingan mas, sudah minum obat. Tadi juga aku nggak ngampus, seharian di rumah.”
“Syukurlah kalau begitu. Besok mas ke kontrakan mu ya, sekarang kamu istirahat aja.”
“Makasih yaa mas.” Nadaku sedikit menggantung.
“Untuk apa ?”
“Untuk semua perhatian mas.” Ucapku ragu.
Hening sejenak sebelum mas Pi menanggapi percakapan.
“Bayar ya, traktir mas nonton bioskop. Hahaa.” Tawa mas Pi pecah.
“Ajeng kira gratis perhatiannya. Ahh mas Pi.”
“Ajeng bayar pakai perhatian juga lah, biar impas.”
“Bukannya selama ini Ajeng selalu perhatiin mas ya ?”
“Ya itu makanya, seharusnya mas yang bilang terimakasih. Yaudah Ajeng istirahat ya, selamat malam.” Mas Pi mengakhiri pembicaraan.
Percakapan dengan mas Pi selalu menyenangkan. Sejak percakapan secara tidak sengaja di Whats’app enam bulan yang lalu, hampir setiap malam mas Pi menelponku. Jika diukur dengan waktu, enam bulan memang terbilang belum lama. Namun,segala hal yang dilalui bersama selama enam bulan itu membuat semuanya terasa sudah lama. Seminggu setelah percakapan di Whats’app waktu itu, kami memutuskan untuk bertemu di kantin belakang kampusku. Kebetulan kampusku dan mas Pi bersebelahan. Pertemuan yang menyenangkan karena mas Pi juga sosok yang sangat menyenangkan. Meski mas Pi gondrong, lesung pipi dan barisan giginya yang tak rata namun terlihat indah membuat kesan garang pada dirinya hilang tak berbekas. Dia terlihat manis, bukan sangar. Belum lagi suaranya yang serak-serak basah, membuat rindu bila lama tak mendengarnya. Banyak hal yang menarik dari mas Pi, kepeduliannya terhadap lingkungan, prestasinya, kemampuan berorganisasi, hampir semua yang baik terlihat dari mas Pi, kecuali rambut ikal godrongnya yang selalu dibiarkan terurai dan seringkali membuat mata sipitnya semakin tak terlihat.
Sejak bertemu dengan mas Pi, aku sering tertawa sendiri mengingat tingkah-tingkah kocaknya. Meski terlihat berwibawa dalam memimpin organisasi, namun dihadapan teman-temannya mas Pi tetaplah sosok yang kocak, dan sering melakukan hal-hal konyol yang tak jarang jadi bulan-bulanan teman-temannya. Ya, itulah sisi lain dari mas Pi.
Seperti janjinya semalam, malam ini mas Pi menjenguk ku di kontrakan. Seperti janji-janji sebelumnya, mas Pi selalu menepati janji. Seperti malam ini, aku kembali duduk berdua di beranda rumah kontrakanku. Ditemani kopi, dan tentunya celotehan mas Pi – obat yang paling mujarab bagi kesedihanku mungkin juga sakit demamku.
“Mana sakitnya ? Kamu sehat-sehat aja tuh, bohongin mas ya supaya mas main kesini.” Mas Pi mengucek-ngucek rambutku.
“Sakitnya langsung sembuh waktu mas datang.”
“Berarti kalau lain kali kamu sakit, mas nggak perlu panggil dokter dong.” Mas Pi, mengibas rambut gondrongnya.
“Ya enggak lah, emang mas Pi siapa panggilin dokter buat Ajeng segala.”
Mas Pi menyeruput kopinya, diam sejenak. Mungkin faham arah pembicaraanku barusan. Mata sipitnya menatapku tajam, penuh makna. Aku mendekatinya, mengikat rambut gondrongnya yang membuat sakit mata melihatnya. Mas Pi tersenyum, lagi-lagi penuh makna. Kali ini senyumnya jelas terlihat, karena rambut ikalnya tak lagi menutupi muka. Menit berikutnya benar-benar hening. Hanya semilir angin yang terasa menusuk-nusuk tubuh. Sama halnya dengan semua ke khawatiran yang selalu datang menusuk-nusuk perasaan yang sempurna telah terbuai oleh harapan.
Aku merubah posisi duduk, melipat kedua lenganku – menahan dingin. Mas Pi memecah keheningan.
“Masuk aja yuk, kamu belum sembuh total.” Mas Pi menarik lenganku, masuk ke dalam rumah.
“Mas pulang aja ya, udah larut juga. Kamu istirahat supaya besok bisa liat mas debat.”
Aku hanya diam tak berkata, mengangguk, tanda setuju.
“Mas pergi dulu.” Ucap mas Pi, mencium keningku. Lalu pergi menuju sepeda motornya.
“Mass...” aku menghentikan langkah mas Pi.
“Apa sayang ?” Mas Pi menoleh.
“Makasih ya.” Ucapku sambil tersenyum pada mas Pi.
Mas Pi hanya balas tersenyum, lagi-lagi penuh makna, kemudian mengendarai sepeda motornya.
                                                                        *
Tepuk tangan yang meriah dari penonton menambah sesak gedung serbaguna yang penuh dengan penonton dari masing-masing kampus. Lagi-lagi mas Pi menunjukan pesonanya. Kepiawaiannya dalam berbicara, ditambah wawasan luas serta pengalaman lomba-lomba sebelumnya membuat Ia kembali berhasil membawa timnya menang pada tingkat Nasional. Mas Pi memang seorang pemimpin yang baik.
Dari kejauhan aku melihat mas Pi yang sejak tadi disalami oleh teman-temannya. Dari jarak sejauh ini, aku tersenyum sendiri melihatnya. Mengingat tingkah lakunya, semua perhatiannya, candaanya, semua tentangnya, membuatku bangga bisa mengenalnya sedekat ini. Tampak dari jauh mas Pi melambaikan tangannya padaku, mengisyaratkanku untuk menunggunya sebentar.
“Gimana mas mu ? Keren kan ?” Mas Pi menghampiriku.
“Nggak keren pun palingan juga muji diri sendiri.”
“Ah Ajeng, yang lain bilang mas keren kok. Kamu nggak pernah suka mas lebih bagus dari kamu.” Mas Pi mencubit perutku. Aku menghindar, dan kami kejar-kejaran. Kemudian keasyikan kami terganggu dengan kedatangan seorang gadis cantik menggunakan  dress merah maron yang terlihat sangat indah berpadu dengan kulitnya yang putih. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, matanya yang sipit menunjukan bahwa gadis ini keturunan Tionghoa.
“Mas Pi.” Gadis itu memanggil mas Pi, kemudian memeluknya.
“Selamat ya mas ku, Oshin dari tadi cari mas Pi.” Gadis itu melepas pelukannya.
Aku sejak tadi masih mematung memperhatikan mereka.
“Makasih ya, Oshin sayang.” Mas Pi memberikan senyum manisnya pada gadis itu.
“Kapan nonton nya nih ? Mas Pi bohong ah.” Gadis itu semakin terlihat manja pada mas Pi
Aku masih diam memperhatikan, meskipun diantara keduanya tidak ada yang menghiraukan keberadaanku. Kepalaku mulai penuh dengan pertanyaan. Hati dan perasaanku semakin terasa tak menentu. Ah apa pula yang aku fikirkan ? Bukankah mas Pi memang bukan siapa-siapaku ?
“Gampang itu, terserah Oshin maunya kapan. Kalau mas nggak sibuk mana pernah mas nolak.” Mas Pi menatap ramah gadis didepannya. Sementara gadis itu juga tersenyum sumringah mendengar perkataan mas Pi.
“Oh ya Oshin, kenalin ini temen mas Pi.” Mas Pi menoleh padaku
“Ajeng.” Aku tersenyum seraya mengulurkan tangan.
“Oshin.” Gadis itu balas tersenyum dan menjabat uluran tanganku.
“Yaudah deh kalo gitu Oshin pergi duluan ya mas. Ditunggu janjinya.” Gadis itu mengepalkan tinjunya pada mas Pi.
“Oke dehh Oshin sayang.” Mas Pi meyakinkan.
Gadis itu pergi. Aku masih diam menahan berjuta perasaan, juga menunggu penjelasan mas Pi. Mas Pi menatapku penuh makna. Mungkin Ia tahu apa yang aku fikirkan.
“Makan yuk, mas traktir.” Ajakan mas Pi memecah keheningan beberapa saat.
Aku hanya mengangguk, masih diam. Berharap mas Pi bisa mengerti kediamanku. Berharap dia mau menjelaskan semuanya tanpa harus kutanya terlebih dahulu. Tapi ternyata aku salah, bahkan sepuluh menit di tempat makan ini kami hanya diam setelah memesan makanan. Mas Pi memang selalu begitu, tak pernah bicara jika aku diam seperti ini. Dia lebih memilih untuk membiarkanku menikmati kesedihanku sendiri. Sebelum aku bicara, mas Pi tidak akan bertanya terlebih dahulu. Ya, laki-laki memang terkadang sulit sekali peka terhadap perasaan.
Akhirnya dengan sisa-sisa kekesalanku, sisa-sisa kekuatanku malam ini. Juga dengan sejuta kebingungan yang membenak dan membuat sesak ini, aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan. Setidaknya aku harus tahu sejauh mana mas Pi menganggap kedekatan kami selama ini.
“Mas...” Aku menunduk, tak mampu menatap wajah mas Pi.
“Apa sayang ?” Mas pi mencoba melihat wajahku.
“Apa mas emang manggil semua cewek dengan sebutan sayang ?” Aku mengangkat wajahku, memberanikan diri mentap wajah mas Pi.
Mas Pi tampak terkejut dengan pertanyaanku. Menatapku tajam. Tapi dari matanya aku tahu, ada perasaan iba yang terselip. Mungkin mas Pi iba melihatku yang terlanjur jatuh dalam harapan yang aku buat sendiri. Mas Pi menyalakan rokoknya, lantas sedikit tertawa menanggapi pertanyaanku.
“Ahaaa, nggak semua cewek mas panggil sayang. Buat yang nggak keberatan di panggil sayang aja.” Kali ini tatapan mas Pi tampak seperti seekor kancil yang akan mengelabui musuhnya.
“Kamu keberatan mas panggil sayang ?” Mas Pi melanjutkan perkataannya.
“Aku nggak keberatan kalau kamu emang sayang aku mas.” Mataku mulai berkaca-kaca.
Mas Pi diam, kali ini Ia yang tak berani menatapku.
“Mas nggak pernah mikir hubungan kita udah sejauh mana ? Kita selalu ngomongin masa depan, ini itu lah. Ya walaupun Ajeng nggak tahu mas Pi serius atau cuma bercanda, tapi bagi seorang cewek itu udah bukan hubungan biasa lagi mas. Mas emang nggak pernah ngomong sayang, tapi semua cewek juga tahu kalau kedekatan kita ini udah bukan sekedar teman biasa.” Akhirnya tangisku benar-benar pecah.
Mas Pi mendekatkan kursinya. Menyeka air mataku yang sejak tadi sudah mengalir deras. Menatapku dengan tatapan yang tulus, meski aku belum tau arti dari tatapan itu.
“Maafkan mas kalau terlalu berlebihan memperlakukan Ajeng.”
Dari jawaban singkat itu aku sudah tahu maksud dari semuanya.
                                                                        *
Seminggu sudah sejak pengakuan Mas Pi. Hubungan kami berakhir dingin, aku tidak pernah menghubunginya lagi. Begitu pula mas Pi, tidak lagi menelponku setiap malam. Mas Pi benar-benar menghilang. Di kampus pun tak pernah kelihatan. Satu minggu ini aku lalui dengan susah payah. Terbiasa dengan celotehan mas Pi setiap malam, membuat tidur malamku menjadi sangat susah. Ah bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini. Berharap terlalu banyak, kemudian membiarkan diriku terjebak dalam sebuah hubungan yang sangat tidak jelas seperti ini. Memang terkadang rasa nyaman membuat kita melupakan hal-hal penting lainnya. Membuat kita takut untuk memperbaiki keadaan, takut kehilangan rasa nyaman itu, padahal dengan sendirinya rasa nyaman itu juga akan hilang seiring dengan berjalannya waktu.Begini rasanya bertepuk sebelah tangan. Sakit sekali. Rasanya seperti baru putus cinta, padahal jadian saja tidak pernah. Mungkin lebih tepatnya putus harapan.
Aku tidak baik-baik saja. Terlalu besar perasaan yang sudah ku jaga untuk mas Pi. Ingin rasanya aku menghubunginya, tapi lihatlah Dia sama sekali tidak memperdulikanku. Bahkan jika memang mas Pi menganggap semua ini biasa-biasa saja pastinya Ia sudah menghubungiku seperti biasa. Meneleponku sebelum tidur. Mengingatkanku untuk tidak bangun kesiangan. Menemaniku mengerjakan tugas. Datang bersama ke Klub Sastra. Segalanya, bahkan setiap bersamaku mas Pi selalu mengijinkan aku untuk mengikat rambut gondrongnya. Ah, buakankah hubungan kami sudah terlalu dekat ? Apa memang benar mas Pi tidak mempunyai perasaan sedikit pun padaku ? Lalu apa maksud dari semua kedekatan ini ? Apa makna panggilan sayang yang selalu dia ucapkan padaku ?
Oh ya aku lupa, mas Pi memang memanggil semua gadis dengan sebutan sayang.
                                                                        *
Genap satu bulan sudah mas Pi menghilang. Aku masih juga sering membatin, mengumpat diri sendiri. Baru menyadari kebodohan sendiri. Satu bulan yang menyedihkan. Meski kini aku memilih untuk membenci mas Pi, tapi sebenarnya aku masih mencari tahu tentang keberadaan mas Pi. Aku memutuskan untuk melupakan perasaan bodoh itu. Menyibukkan diri dengan rajin menulis dan datang ke Klub Sastra. Meski tempat itu juga menyimpan banyak kenangan bersama mas Pi, setidaknya aku harus melanjutkan hidupku. Meski tanpa mas Pi, tanpa kabarnya juga. Aku hanya perlu melalui proses, biarkan waktu yang akan mengobati luka ini.
Saat aku mulai menyibukkan diri, saat itulah mas Pi kembali hadir dalam hidupku.
“Ajeng, mas kangen.” Pesan singkat mas Pi yang ke ‘seratus’.
Aku mematung. Sudah tiga hari mas Pi mencoba menghubungiku berkali-kali. Telepon, pesan singkat, blackberry messenger, semua cara yang bisa digunakan untuk menghubungiku. Aku masih saja egois, berpura-pura tidak memperdulikannya. Padahal aku juga sangat rindu pada mas Pi. ah, entahlah. Mas Pi benar-benar membuatku bingung. Kemarin setelah penjelasan singkat penuh makna di tempat makan itu dia bahkan menghilang cukup lama. Sekarang tiba-tiba datang lagi, dan dengan mudahnya bilang kangen berat segala. Jadi bagi mas Pi aku apa ? Hanya pelampiasaanya ? Datang ketika rindu, lantas pergi lagi ketika bosan ? Aku masih benar-benar kesal dengan tingkah mas Pi.
“Ajeng sayang, mas pengen ketemu. Mas pengen jelasin semuanya, kamu salah faham. Please angkat telpon mas, kasi mas kesempatan.” Itu adalah pesan singkat mas Pi yang terakhir. Lima jam yang lalu, sejak itu ia berhenti menghubungiku. Aku semakin penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan mas Pi ? Kenapa dia begitu berjuang untuk menghubungiku ? Apa memang benar aku salah faham ?
Akhirnya aku sempurna membatin sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu, rasa penasaran itu, rasa rindu itu, mungkin juga rasa cinta itu yang kemudian membuat aku berbalik menghubungi mas Pi. ah, lagi-lagi cinta sukses mengalahkan pendirian.
                                                                        *
“Pit..pit...” Suara klakson motor mas Pi.
Aku bergegas membukakan pintu. Saat aku membuka pintu, mas Pi tepat berada di depanku. Kami bertatapan lama, lantas kemudian mas Pi memelukku. Pelukan yang begitu hangat, tak pernah mas Pi memelukku seerat ini. Aku mulai merangkai penjelasan sendiri. Apa mas Pi juga punya perasaan yang sama padaku ? Keterlaluan ini namanya kalau memang tak ada rasa. Aku segera meyadari hal itu, kulepas pelukan hangat mas Pi. Mas Pi mentapku, sepertinya siap untuk memulai penjelasan.
Hening terlalu lama. Mendadak keadaan juga terasa canggung. Tak pernah diam selama ini. Aku semakin salah tingkah, ingin memulai pembicaraan tapi rasanya juga canggung sekali. Rupanya mas Pi juga menyadari hal itu. Kami saling bertatapan, mungkin juga saling membaca fikiran, lantas kemudian tersenyum malu, lalu tertawa perlahan-lahan. Akhirnya keheningan itu terpecahkan. Ah tingkah kami tak ubah dua orang yang baru jatuh cinta.
“Kenapa jadi aneh gini ya ?” Mas Pi menyibak rambut gondrongnya.
“Entahlah, mungkin karena kita sudah tidak terbiasa bersama lagi.”
Hening lagi, sepertinya mas Pi sedang merangkai kata-kata.
“Maafin mas ya sayang, sekarang kamu boleh tanya apa aja sama mas pasti mas jawab.”
“Kamu boleh minta penjelasan apapun pasti mas jelasin.”
Aku sumringah mendengar perkataan mas Pi barusan. Tentu saja aku akan bertanya sepuas hati, minta penjelasan sepuas-puasnya. Sekalian saja melampiaskan semua kekesalanku pada mas Pi, memuntahkan semua kebingunganku selama ini.
“Baiklah.” Mataku tajam menatap mas Pi. Kali ini aku persis seperti seekor harimau yang akan menerkam mangsanya.
Sementara itu, kulihat wajah tenang mas Pi penuh pasrah. Tak ubah seperti seorang terpidana mati yang menunggu waktu eksekusi.
“Hubungan kita selama ini kau namai apa mas ?”
“Kenapa mas panggil Ajeng sayang ?”
“Kenapa mas nggak pernah bilang sayang, sementara perlakuan mas ke Ajeng sudah berlebihan ?”
“Sebenarnya perasaan mas ke Ajeng itu gimana ?”
“Lalu kenapa mas panggil cewek itu sayang juga ?”
“Mas menghilang kemana aja ?”
“Kenapa mas menghilang gitu aja ?”
“Kenapa mas nggak ngubungin Ajeng ?”
“Kenapan mas baru muncul setelah Ajeng memutuskan buat ngelupain mas ?”
Nafasku tersengal. Aku berbicara tanpa jeda. Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mas Pi sejak tadi hanya menatapku takjim. Tak tahu apa yang sedang ada di fikirannya. Bisa saja dia ilfil melihatku begitu bersemangat mengutarakan pertanyaan.
“Udah sayang pertanyaannya ?”
“Mas bingung mau jawab dari mana.” Kali ini mas Pi malah tersenyum.
“Baiklah, kemarin mas sibuk sekali. Baru habis mendaki di luar pulau. Mas sengaja nggak ngubungin Ajeng. Mas pengen meyakinkan perasaan mas dulu. Kata orang bijak cinta itu bisa diuji dengan waktu. Jadi mas mau buktikan perkataan itu. Kebetulan mas sibuk juga, jadi sekalian aja.” Mas Pi menatapku yakin.
Aku tak balas menatap, bahkan memalingkan pandanganku. Ya, kali ini aku persis seorang pacar yang sedang menunggu pengakuan selingkuh dari pacarnya.
“Ajeng tahu, memendam rindu itu sakit. Menyumpalnya dengan berbagai kesibukan itu bikin perih. Mas kira, mas begini sama Ajeng hanya karena kita dekat. Tapi ternyata mas salah, semakin jauh dari Ajeng mas malah semakin menyadarinya.” Mas Pi melanjutkan pengakuannya.
Aku mulai membatin lagi. Syukurlah ternyata bukan aku saja yang menanggung perihnya menahan rindu itu mas. Ternyata kau juga sama, setidaknya rinduku berbalas.
“Oh iya, soal gadis cantik di acara lomba mas itu, dia sepupu mas. Mas emang panggil semua orang yang mas sayang dengan panggilan ‘sayang’ , termasuk semua adik-adik mas.”
“Mas senang kamu cemburuan.” Mas Pi mencolek pipiku.
Aku menatapnya garang.
“Cemburuan ? Emangnya mas Pi siapa nya Ajeng ? Kita kan nggak pernah pacaran.”
“Lalu selama ini apa dong sayang.” Mas Pi tak mau kalah, juga menatapku garang.
“Kita nggak punya hubungan aa-apa kan ? Mas nggak pernah bilang sayang, mas nggak pernah nembak Ajeng.”
Mas Pi mengibas rambut gondrongnya, lantas tersenyum licik padaku.
“Sayang, umur kamu berapa ? Kamu udah dewasa kan ? Kita bukan anak SMA lagi kan yang harus bilang ‘aku cinta kamu, mau nggak jadi pacar aku’ dulu untuk memulai suatu hubungan. ?”
“Ya tetap aja, mas Pi nggak pernah bilang sayang. Semua tingkah mas Pi samar dimata Ajeng.”
“Bagi mas cinta itu bukan kata-kata, tapi perbuatan. Semua perbuatan mas, perhatian mas kurang jelas buat Ajeng ?” Mas Pi sedikit melotot.
“Jadi mas cinta Ajeng ?” Aku bertanya dengan polosnya.
Mas Pi tertawa terbahak-bahak. Tak memperdulikan wajah kesalku.
“Iya sayang, mas cinta kamu mas sayang kamu, ‘PUAS’ ?”
“Kamu nggak peka banget sama perasaan mas.” Mas Pi menghela nafas panjang.
Aku masih dengan wajah polosku. Bertanya semaunya, menjawab pun semaunya. Tak menghiraukan mas Pi yang telah lelah menjelaskan semuanya sejak tadi. Bagiku, belum puas, belum jelas semuanya, belum selesai. Sudah cukup lama aku menanggung derita akibat semua ketidak jelasan ini.
“Ya mana aku tahu kalau kamu memperlakukan semua teman cewek mu seperti itu kan mas.”
“Hahaha ya enggak lah, enak saja. Susah kali dapat perhatian mas gondorng kece seperti mas ini.” Kali ini tawa mas Pi lebih keras.
“Jadi, kita pacaran ? Jadi perasaan Ajeng selama ini nggak bertepuk sebelah tangan ?” Mas Pi menimpukku dengan bantal. Aku mengaduh kesakitan. Kemudian dia duduk di sebelahku.
“Dari awal mas yang takut cinta mas bertepuk sebelah tangan.” Mas Pi merangkulku.
Aku masih tak percaya semua penjelasan ini.
                                                                        ***




Senin, 04 Agustus 2014

Untuk Kesekian Kalinya...

Akhir pekan yang tak jarang berujung membosankan sering kuhabiskan dengan mengunjungi Toko Buku, baik untuk membaca maupun hanya sekedar melihat-lihat koleksi terbaru. Kali ini aku tidak datang sendiri, tapi bersama seorang teman yang baru ku kenal tiga bulan yang lalu. Aku tidak mempunyai banyak teman disini, karena teman-teman sekolahku kebanyakan melanjutkan studi di pulau seberang. Dan Luna adalah teman terdekatku saat ini. Aku masih melanjutkan novel bacaanku yang belum selesai minggu kemarin, saat Luna berseru bahwa Ia ingin melihat-lihat dahulu. Konsentrasi penuh pada bacaan membuatku tidak memperhatikan sekitar, 30 menit berlalu dan bacaanku telah selesai – Luna masih belum juga kelihatan batang hidungnya. Aku beranjak dari tempat dudukku, hendak mengembalikan novel itu pada tempatnya semula, kemudian berkeliling untuk mencari Luna. Belum lama aku berangkat dari tempat dudukku, seseorang memanggilku, aku berhenti sejenak sebelum membalikkan badan, memastikan bahwa panggilan itu benar ditujukan padaku.
“Puja”. Suara yang tidak asing didengar telingaku, memanggil untuk yang kedua kali. Aku membalikkan badan.
“Astaga, kamu benar-benar Puja. Aku kira aku salah orang, aku sudah lama cari kamu ja. Gila kali kamu ja, menghilang tanpa jejak sosmed di non aktifkan semua. Ga rindu apa kamu sama aku ?” Orang itu berpanjang lebar.
Aku menghela nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan nya.
“Oh, kebetulan handphone aku rusak. Jadi aku ga bisa hubungi kalian. Aku fikir kamu ikut Dody ke Jogja rupanya kita malah dipertemukan lagi di kota ini.” Jawabku sambil berjalan mengembalikan novel.
“Hahaa, dari awal aku memang ga tertarik ke luar Kalimantan ja, aku ambil jurusan Arsitektur disini. Akreditasinya ga kalah sama di Pulau seberang jadi ngapain harus jauh-jauh. Kamu kuliah apa ja ? Ga pernah cerita dulu mau ngambil apa.”
Pertanyannya sedikit tidak ku hiraukan karena sibuk mencari keberadaan Luna. Satu menit lamaya aku mengabaikan pertanyaan teman lama itu,kemudian menyapa Luna yang ternyata juga sibuk mencariku sejak tadi.
“Hey Lun, aku disini.”
“Oalah Puja, aku sudah berkeliling mencarimu. Yuk pulang, sepertinya mau hujan.”Luna menarik lenganku.
Aku mengangguk, dan kemudian pamit kepada teman lama itu.
“Rom, aku pulang dulu mungkin lain waktu kita bisa ngobrol banyak.”
“Pin mu ja.” Ia menyodorkan smartphone nya
Aku langsung pergi pulang bersama Luna setelah memberikan pin BB ku padanya.
Belum lama aku membujurkan badanku di kasur empuknya Luna, smartphone ku berbunyi. Sebuah nama tertera di layar “Romeo Putra Adinata would like to add you to his BlackBerry Messenger contact list” Aku memejamkan mata sambil menekan tombol “accept”.
Luna yang sejak tadi penasaran dengan tingkah anehku akhirnya angkat bicara.
“Tadi yang di toko buku siapa ja ? Sepertinya sudah kenal lama.”
Aku hanya menjawab singkat “Iya, dia teman lama.”
Dia lebih dari sekedar teman lama, bahkan separuh hidupku yang lama. Gumamku dalam hati.
“Sepertinya ada yang kamu sembunyikan ja, kamu aneh setelah bertemu orang itu. Eh tapi ganteng juga lo ja, lain kali kamu kenalin ke aku ya hahaha.” Tawa Luna pecah seketika.
Aku hanya menanggapi gurauan Luna dengan jawaban singkat. “Namanya Romeo, dia teman SMA ku dulu.”
Luna semakin penasaran dengan tingkah anehku yang tidak terlalu menggubris soal keingintahuannya tentang Romeo. “ Cieee, tampaknya ada yang mengingat masa lalu nih, ada apa sih ja ? Biasanya kamu selalu bersemangat bercerita tentang teman-teman lamamu.” Luna menggodaku yang sejak tadi sibuk mengotak-ngatik smartphone. “Emm aku hanya sedang tidak berselera untuk bercerita hari ini, apalagi meladeni wajah jomblomu yang luar biasa keponya itu Lun kalau sudah berhubungan dengan cowok ganteng hahahaa.” Tawaku pecah setelah berhasil membuat  jengkel Luna dengan jawaban ejekanku. Luna melemparkan boneka sapinya ke arahku, aku hanya tertawa dan balas melempar. Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di kamar kost ku yang berseblahan dengan kamar Luna.
                                                                        *
Ujian akhir perdana di tahun pertama kuliahku, sepertinya tidak membuatku  terlalu bersemangat menghadapinya. Masih seperti biasa, selalu santai menghadapi ujian – meskipun begitu bukan berarti tidak mempunyai persiapan. Belajar pada waktu dini hari merupakan salah satu kebiaasanku dalam menghadapi ujian. Belum sampai sepuluh menit aku menemukan konsentrasi untuk memahami materi-materi Hukum Pidana yang akan di ujiankan besok, benda sialan itu menggangu konsentrasiku karena sejak tadi berbunyi dan bergetar – menandakan ada orang yang menghubungiku lewat BalckBerry Messenger. Aku bergumam sendiri, siapa pula yang menghubungiku pukul tiga dini hari ? Padahal aku sama sekali tidak memberikan petunjuk kalau aku sudah bangun sepagi ini. Karena penasaran, langsung ku ambil smarthphone ku, membuka pesannya, dan betapa terkejutnya aku.
Romeo Putra
PING!!!
PING!!!
PING!!!
Selamat ujian puja, aku tau kamu sudah bangun sepagi ini untuk belajar

Ohh ya, aku pengen ngobrol nih kapan bisa jalan bareng ???

Seketika semangatku luntur. Aku terdiam sejenak, mengumpulkan niat untuk membalas BBM Romeo. Akhirnya atas nama persahabatan, aku berusaha untuk bersikap biasa saja, meski sebenarnya ini jelas menghancurkan tekadku berkeping-keping.


Dewi Puja
Thanks yaa Rom , rupanya Meo masih inget juga kebiasaan Pujaa. Ntar sore puja free kok habis ujian.

Tidak sampai lima menit, BBm Meo sudah masuk.

Romeo Putra
Haha mana mungkin lupa sih, kita kenal udah berapa lama ? Ehh nonton yukk, ntar aku yang traktir deh, rindu banget sama Puja hehehe 

Aku hanya bisa diam, kemudian bingung, tidak tau harus berbuat apa. Rasa bahagia bercampur dengan rasa pesimis mengahantuiku saat ini. Bahagia karena bisa akrab lagi dengan Romeo, dan pesimis takut kalau semua itu terulang kembali. Sekitar dua puluh menit menimbang-nimbang akhirnya aku menerima ajakan Romeo

Dewi Puja
Oh boleh, besok kamu jemput aku di kampus aja yaa. Di Fakultas Hukum hehee 

Akhirnya, Romeo berhasil menggagalkan misi belajarku pagi ini. Sekaligus berhasil mengancurkan “move on” ku yang sejak awal memang susah payah ku lakukan.
                                                                        *
Rintik hujan yang jatuh menimpa genteng masih terdengar samar dari pendengaranku, diikuti pula dengan suara riyuh jangkrik-jangkrik yang sedang bersenda gurau meramaikan malam. Pukul 00.41 menit, mataku masih enggan berdamai dengan keharusannya untuk mengatup. Ini adalah pertama kalinya aku kembali susah tidur setelah berada di rumah dan kamar tercinta ini. Entah mengapa otakku enggan berhenti untuk memikirkan sosok manusia yang memang ku akui ataupun tidak, adalah bagian dari hidupku. Beberapa hari ini pertanyaan itu kembali menghantuiku, tiga tahun yang lalu tidaklah berbeda dengan sekarang, masih sama, seribu kali masih sama. Sejak acara nonton bareng sore itu, aku dan Romeo kembali seperti dulu. Sore itu bagaikan sebuah acara nostalgia yang kemudian mengembalikan semuanya persis sama dengan keadaan semula. Tak ubahnya dengan perasaan itu. Aku kembali membiarkannya menjadi bagian dari hidupku. Dulu, dengan polosnya aku membuka pintu hatiku untuk seorang pria. Sejak aku mengenal lawan jenis, pandangan pertama di parkiran sekolah itu lah yang kemudian membuat hari-hariku berwarna. Waktu itu parkiran penuh, dan tubuh kecilku tidak mampu menahan keseimbangan saat ingin mengeluarkan sepeda motor dari selasar parkiran yang sesak dan penuh. Romeo yang kebetulan juga ingin mengeluarkan motornya, menolongku yang sudah tertimpa motor. Itu adalah awal perkenalan kami di hari pertama masuk sekolah. Selang satu minggu setelah Masa Orientasi Siswa, kebetulan itu terjadi lagi – aku dan Romeo ternyata satu kelas. Sejak saat itu, aku menjadi teman baiknya. Kita sering menghabiskan waktu bersama, mengikuti ekstrakurikuler yang sama, les di tempat yang sama, semuanya dilalui bersama-sama. Setahun bersama sedekat itu, baru membuat ku sadar bahwa apa yang kurasakan pada Meo bukanlah perasaan biasa. Terkadang aku bisa terlihat cemburu saat dia bercanda dengan  perempuan lain, terkadang juga ada perasaan bahagia yang luar biasa ketika Meo berhasil meraih apa yang diimpikannya. Bahkan jika ia hanya tertawa lepas karena berhasil mengejekku habis-habisan pun aku bisa merasakan kebahagiaannya. Tahun kedua pun berlalu, aku semakin yakin dengan apa yang aku raskan pada Meo. Sementara Meo masih belum menunjukkan kejelasan mengenai kedekatan kami. Apakah persahabatan kami terlalu dekat ? Atau semua rasa yang dilalui bersama itu kemudian hanya berarti persahabatan ? Tidak bisa lebih ? Entahlah yang jelas aku mulai gerah menyimpan semua rasa yang mulai mengganggu konsentrasiku pada Ujian Nasional yang tinggal beberapa bulan lagi. Akhirnya aku mengumpulkan seribu keyakinan yang memberikanku keberanian untuk menyatakan apa yang aku rasakan selama ini pada Meo. Hari itu adalah ulang tahun Meo, moment yang pas untuk memperjelas semua yang samar selama ini.
Hari itu, 23 Oktober. Hujan masih membasahi jalanan kota Sintang yang berdebu. Aku masih menunggu Romeo yang berjanji menemuiku di koridor utama sekolah. Dengan satu buah cupcake berukuran sedang dan lilin angka 17 diatasnya, juga korek gas yang sudah aku siapkan di saku rok abu-abuku. Ku fikir ini akan menjadi sebuah perayaan sederhana yang berkesan untuk Meo. 30 menit berlalu, akhirnya Meo datang menghampiriku dengan napas yang tersengal karena sedikit berlalari. Aku langsung menghidupkan lilin dan memberikan cupcake itu pada Meo.
“Selamat Ulang Tahun Romeo, semoga makan-makan.”
Romeo bersemangat meniup lilin dari cupcake yang masih kupegang.
 “Terimakasih yaa Puja bawel, cerewet, jelek. Tapi do’a nya itu lo, haduhhh.” Romeo mencubit pipi tembem ku.
Aku hanya tertawa kecil.” Jadi kita makan dimana ?”
“Soal makan itu gampang, kamu mau makan apapun aku traktir deh, adayang lebih penting dibanding itu.”
“Ahh seriusan nih ? Apaan yang lebih penting ?” Tanyaku tak percaya sekaligus ingin tahu.
Sambil mengenakan jaket hitam berbahan parasut yang sejak tadi menggantung di bahunya, Romeo menjelaskan.
“Temenin aku cari boneka ya, malu dong aku pergi ke toko boneka. Lagian aku ga tau cewek sukanya boneka yang kaya gimana.”
Aku yang sejak tadi sibuk dengan permen karet di mulutku, berhenti mengunyah.
“Kamu mau cariin boneka buat siapa?” Tanyaku penasaran.
Romeo tersenyum begitu bahagia. Namun dalam senyum manis yang selalu menyejukkan hati itu, kali ini terasa ada yang berbeda. Ada sebuah guncangan hebat yang meruntuhkan keyakinan hatiku sebelumnya.
“Buat seseorang yang sangat special dalam hidup aku.”
Kali ini bukan hanya keyakinanku yang runtuh tetapi juga harapan yang hancur berkeping-keping.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaan gila itu. Sejak kejadian itu pula, kedekatan aku dan Meo jelas berubah. Meo banyak mengahbiskan waktunya bersama Rini – pacar barunya yang juga teman sebangku ku. Berberapa minggu menjelang Ujian Nasional aku benar-benar berada dalam keadaan terpuruk. Begitu besar akibat dari patah hatiku kali ini, mungkin sebesar cinta yang harus ku kubur dalam-dalam pada Meo. Aku bukan Puja yang selalu ceria seperti biasanya, belajar efektifku terganggu dan semakin sedikit hari yang tersisa di sekolah semakin membuatku enggan untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya aku sengaja menjauhi Meo, dia sendiri sudah berusaha untuk menghubungiku, tapi rasa sesal becampur rasa sakit hati yang tidak bisa ku kendalikan membuat aku memilih untuk tidak berhubungan dengan Meo. Aku kecewa, seharusnya kalau Meo menganggapku sahabatnya, ia pasti menceritakan tentang Rini. Dan Rini juga tidak pernah berkeluh kalau dia menyukai sahabatku sendiri. Entahlah sepertinya mereka sengaja menjebakku dengan perasaan dan keadaan yang seolah mendukungku selama ini.
Dan sekarang, setelah aku cukup berhasil untuk melupakan semua harapan besar itu dengan gampangnya kemudian Meo masuk lagi dalam kehidupanku. Entah apa maksud dari ini semua, akankah ini semua hanya pelarian tanpa ujung ?
Aku menyeka air mata yang ternyata sudah mengalir sejak tadi, membasahi bantal yang kupakai. Pikiranku benar-benar sesak oleh kenangan. Kepalaku benar-benar penuh dengan pertanyaan. Dan hatiku benar-benar utuh dengan harapan. Harapan yang dulu sempat ku padamkan, kini menyala secara perlahan seiring dengan kedekatan-kedekatan yang tidak biasa. Yaaa aku masih mencintainya.
                                                                        *
“Pitt...pittttt”
Suara klakson mobil Romeo, menandakan bahwa Ia telah datang menjemputku. Aku bergegas meraih tas, sepatu dan kemudian mengunci rumah kontrakan baruku karena teman satu kontrakanku juga tidak berada di rumah sejak tadi. Hari ini Romeo mengajakku makan malam, katanya ada yang ingin dibicarakan. Kebetulan, aku juga sudah membulatkan tekad untuk menyampaikan perasaanku pada Meo. Karena tahun ini adalah tahun ketiga kuliahku, dan aku ingin berkonsentrasi untuk menyusun skripsi jadi aku memutuskan untuk memperjelas hubungan ini pada Meo. Aku memutuskan untuk berterus terang. Perihal tanggapan dan jawaban Meo itu urusan belakangan. Yang penting aku tidak dihantui lagi oleh perasaan ini.
Mobil Meo melaju melewati jalanan kota Pontianak yang lengang. Pukul 20.00 WIB, belum terlalu malam, tapi dikarenakan malam ini turun hujan, aktifitas masyarakat kota Pontianak tidak terlihat ramai di jalanan. Kami menuju ke arah Selatan kota, singgah di sebuah Rumah Makan Seafood. Selama perjalanan aku memilih diam memperhatikan rintik hujan lewat kaca mobil Meo, sementara Meo sibuk mengendarai mobil. Suasana malam ini terasa begitu dingin, sama dengan cuaca diluar. Aku dan Meo terlanjur sibuk dengan pikiran masing-masing mungkin juga saling menerka dan menganalisa.
Akhirnya setelah memesan makanan, Meo memulai pembicaraan. Sepertinya suasana hatinya pun sedang tidak enak malam ini. Tidak biasanya Ia hanya diam dan menyerahkan pilihan makanan itu padaku, biasanya Ia selalu cerewet soal makan.
“Puja, aku mau jujur.” Meo memperbaiki duduknya.
Aku masih diam melongo, menikmati dingin nya cuaca setelah hujan. Sedikit tidak berselera menanggapi pembicaraan Meo namun tetap mengangguk tanda bersedia mendengarkan.
“Kita dekat udah lama, kemana-mana sama-sama. Segalanya kamu tau tentang aku, kebiasaan aku, bahkan kamu tau gimana caranya menghadapi sifat burukku.”
Pengakuan itu berhenti, karena pesanan kami datang. Lima menit setelah pelayan itu beranjak dari meja kami, Meo masih belum melanjutkan penjelasannya. Sementara aku masih menunggu dengan penasaran. Apakah Romeo yang akan menyampaikan perasaannya terlebih dahulu ? Apakah dia telah sadar ?
“Sebagai sahabat aku kamu harus tau ini, aku baru sebulan yang lalu pacaran dengannya tapi aku udah ngerasa cocok dan aku pengen tunangan.” Meo terlihat susah payah menyusun kalimat penjelasannya.
Seketika kau merasakan kehancuran yang kedua kalinya, kali ini lebih hancur dari 4 tahun yang lalu. Aku tidak sanggup lagi membendung air mataku yang saat ini sudah mengalir deras tanpa memperdulikan Meo yang mungkin saja bingung dengan tangisanku.
“Kita tetap bisa pergi bareng kok, besok aku kenalin kamu sama dia. Dia orangnya asyik kok, kamu jangan khawatir.” Meo mendekatkan kursinya ke arahku.
“Kenapa kamu ga pernah mau cerita kalau lagi deket sama cewek ? Kenapa aku taunya setelah kamu jadian bahkan sekarang mau tunangan ?”
“Aku ga mau kamu kayak dulu lagi, menghindar dari aku setelah tau aku punya pacar. Kamu temen yang baik ja, aku ga mau kehilangan sahabat seperti kamu.” Romeo meyakinkanku.
Tangisku semakin pecah setelah mendengar pengakuan Romeo barusan. Apa ? Dia tidak mau kehilanganku ? Apa dia tidak pernah berfikir tentang perasaanku ? Aku membatin sendiri. Mengumpat orang di hadapanku ini dalam hati.
“Kamu ga pernah berfikir tentang perasaanku ? Tentang kedekatan kita ? Hei, aku bahkan lupa kita tidak pernah membicarakan perasaan selama ini.”
“Kedekatan ? Apa yang kamu maksud ? Kita bersahabat baik selama ini, apa kau menganggapnya lebih ?” Romeo menatapku tajam.
Aku semakin hancur. Oh Tuhan, bahkan Ia tidak pernah mengira aku akan suka padanya. Dia baru menyadarinya, benar-benar lelaki yang bodoh. Ah bukan, akulah perempuan bodoh.
Aku menarik nafas panjang.
“Baik, sejak awal memang aku yang salah. Memang aku yang tidak tau diri, seharusnya aku sadar sejak dulu bahwa hubungan kita ini hanya teman dan tidak akan mungkin lebih. Seharusnya sejak awal aku sudah menyederhanakn perasaanku, tidak membiarkannya mengendalikanku membawaku sejauh ini. Kau bahkan baru menyadarinya malam ini”
Romeo menatapku iba, mendekatkan kursinya disampingku dan kemudian membiarkan aku menangis di pelukannya. Sudah jelas semua yang ku katakan, aku pun tak sanggup lagi melanjutkan semuanya. Hanya bisa menangis, menumpahkan perasaanku di pelukan orang yang selalu menjadi penyemangat hidupku tapi untuk kesekiankalinya juga membuat harapanku padam, gelap gulita taku ubahnya seperti saat ini.
“Puja, kenapa kamu ga pernah bilang dari dulu ? Aku bahkan telah terlanjur menganggap semuanya biasa, terlanjur nyaman dengan keadaan kita yang seperti ini. Tak ingin berubah.”
“Aku memang egois, tidak pernah mau kehilangan kamu tapi juga sibuk mencari cinta yang lain. Entahlah Puja, sampai sejauh ini aku pun sebenarnya tidak pernah cukup mengerti tentang hubungan kita selama ini. Mungkin persahabatan ini terlalu indah, sehingga aku tidak rela menukarnya dengan cinta yang aku sendiri belum menemukannya secara utuh. Aku masih mencarinya.” Romeo melepaskan pelukannya.
Akhirnya malam itu berlalu dengan dingin, setelah percakapan itu Romeo mengantarku pulang. Tidak ada percakapan sama sekali selama di mobil, hanya tatapan dingin penuh makna dari Meo yang mengantarku masuk ke dalam kontrakan. Sejak malam itu, kami memutuskan untuk tidak bertemu. Untuk terakhir kalinya juga, aku mencoba untuk melupakan perasaan hebat itu. Setidaknya pun aku sudah lega karena telah menyampaikannya pada Meo, dan sekarang aku bisa fokus dengan skripsiku.
                                                                        *
Setahun berlalu begitu cepat, secepat harapan-harapan itu sirna ditelan kesibukan dan konsentrasi pada skripsi yang diawali dengan niat sepenuhnya untuk melupakan perasaan pada Meo. Mungkin aku berhasil mengurangi perasaan itu, setidaknya dengan tidak pernah berhubungan dekat lagi bisa mempermudah semua langkahku. Meski tidak kupungkiri, masih ada perasaan sesak yang menyelinap bahkan ketika hanya melihat punggung Meo dari kejauhan. Pemilik badan proposional itu, bagaimana mungkin aku melupakan nyamannya berada di dekatnya, bagaimana mungkin aku melupakan suara beratnya yang selalu menenangkan setiap suasana ?
Hari ini kuharap menjadi akhir dari semua perjuanganku melawan perasaan bodoh ini. Menjadi awal untuk memulai hidup baru, dengan harapan - harapan dan cinta yang baru. Melupakan masa lalu, melangkah pasti kedepan. Sudah cukup lelah bertahun-tahun bermain dengan harapan, menerka-nerka penjelasan. Sudah saatnya semua penantian percuma ini dibayar dengan satu hal yang lebih pasti. Cinta yang baru, meski belum terlihat tapi janji itu nyata dan aku hanya perlu mempercayainya.
Aku melangkah mantap memasuki gedung auditorium Universitas Tanjungpura yang sudah ramai dipenuhi peserta wisuda dari 9 Fakultas yang ada. Juga di padati oleh para anggota keluarga, sanak saudara yang ikut menyaksikan prosesi sakral yang menjadi kebanggan para orang tua. Tidak luput juga, para pedagang makanan dan minuman juga penjual bunga dan pernak-pernik lainnya yang semakin membuat sesak gedung itu. Setelah beberapa jam melalui proses, akhirnya acara sakral itu berakhrir. Aku menghembuskan nafas lega. Akhirnya hatiku benar-benar damai sekarang, aku bisa melanjutkan hidupku dengan harapan yang lebih baik.
Ditengah sesak penuhnya auditorium ini, pandanganku tertuju pada sebuah meja di pojok tenda biru yang menjual berbagai makanan itu. Dua orang yang sangat aku sayang sudah menunggu disana. Aku sudah tidak sabar menemui mereka. Namun langkahku terhenti ketika menyadari orang yang duduk dan sedang berbincang dengan orangtuaku itu adalah orang yang sangat ku kenal dekat selama ini. Ah hatiku tiba-tiba bergetar, langkahku mendadak gontai. Berharap tidak ada hal menyakitkan yang akan merusak kebahagiaanku hari ini. Secara perlahan aku mendekati mereka.
Belum sempat aku memeluk kedua orangtuaku untuk melampiaskan rasa bahagia dan ucapan teriakasih atas dukungan mereka. Orang yang duduk bersama kedua orangtuaku tadi langsung beranjak dari tempat duduknya dan memelukku erat. Aku seketika menangis, perasaanku tidak karuan , apa maksud semua ini ? Kenapa dia muncul lagi ? Bukankah hari ini aku sudah memutuskan untuk melupakannya selamanya ? Oh Tuhan, kenapa tak pernah kau restui aku untuk melupakannya ?
“Aku sudah menemukan cinta itu. Tolong jangan tinggalkan aku, tetap jadi temanku Puja. Teman hidupku selamanya.”
Oh Tuhan, untuk kesekian kalinya bentengku runtuh. Semoga kelak Kau tidak memaksaku membangun benteng itu lagi.
                                                                        ***







 

Jumat, 06 Juni 2014

Matahari yang Bersinar Malu-malu


 Hari ini adalah hari Jum'at. Seperti biasanya menjelang weekend suasana hati Oshin selalu berubah, dari semangat berapi-api diawal pekan, kemudian turun perlahan menjelang weekend hingga pekan itu benar-benar berakhir. Hal ini berbeda dengan kebanyakan orang. Banyak orang yang menyukai akhir pekan, salah satu alasannya adalah bisa menghabiskan waktu sepuasnya tanpa beban jadwal perkuliahan atau hal-hal yang menyibukkan mereka seperti hari-hari lainnya. Berbeda denganku, terkadang akhir pekan bisa menjadi waktu yang sangat membosankan untukku, lantaran aku terlalu bingung untuk menghabiskan waktu luangku. Terlebih jika tak ada rencana untuk menghabiskan waktu akhir pekan sebelumnya, itu menjadi sangat menyebalkan.

Pagi ini, tidak seceria semestinya. Pagi yang selalu menjadi pemupuk semangat, menjadi awal yang baik untuk selalu berfikiran baik pada hidup, menjadi awal dari perjuangan menggapai mimpi yang tertunda malam., kali ini tampak bermuram durja. Cuaca di luar sangat gelap, mungkin sama dengan keadaan hati Oshin saat ini --- mendung.

Tak seperti biasanya pagi ini berbeda. Biasanya setiap pagi Oshin selalu bersemangat menyambut siang. Sudah hampir sepekan ini Oshin enggan banyak bicara. Lebih sering diam dan tidak seceria sebelumnya. Meski Oshin selalu menganggap dirinya ceria --- walau sebenarnya orang-orang juga tahu kalau Ia sedang bergalau ria.

Begitu banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dan dimengerti membuat 'diam' menjadi pilihan yang sedikit melegakan, meskipun tidak menyelesaikan masalah sebenarnya. Banyak hal yang berkecamuk di dalam hati dan fikiran Oshin saat ini. Tak mengerti itu apa, rasanya waktu berlalu begitu saja, perlahan merampas kepingan semangat dari asa yang terajut, membawa pergi rasa bahagia yang membuat lupa akan kerasnya hidup dan kemudian kembali lagi membawaku pada keadaan seperti ini --- tiba pada masa jenuh menghadapi rutinitas.

Matahari yang bersinar malu-malu pada hari ini menambah mesranya keadaan dengan perasaa yang kini tampak sejalan. Tak kutemukan lagi kepingan semangat yang dulunya dapat ku kumpulkan dari mana saja. Keadaan ini perlahan menjadi terasa nyaman, meski juga menyakitkan. Dalam lamunan siang ini, Oshin mengingat kembali serpihan-serpihan masa lalu yang kini sudah melekat sebagai kenangan. Tentang mereka yang pernah singgah dan menjamah sedikit perhatian dari hati yang beku ini. Semuanya menyadarkanku, ternyata aku terlalu jauh meninggalkan mereka. Membiarkan mereka kemudian hanya sekedar singgah tanpa pernah ku persilahkan masuk dengan baik dan menjaga hati ini. Aku terlalu naif, menelantarkan benih-benih perasaan yang sebenarnya bisa membuat hatiku lebih hidup. Sampai saat ini kembali datang, aku masih menyadarinya. Namun ketika masa ini berlalu, terkadang aku menjadi egois kembali, mengabaikan mereka lagi dan kemudian sibuk mengejar mimpi-mimpi malam yang menyemangati pagi. 

Sejak dulu Oshin memang selalu begitu, gadis kecil itu tetap saja gadis yang suka bermimpi sampai terkadang lupa dunia nyata. Bisa bersemangat karena hal-hal kecil yang terjadi menyenangkan, dan kemudian juga bisa bermuram durja lantaran tidak mengerti dengan perasaan sendiri. Itulah Oshin, gadis kecil yang selalu menganggap dirinya akan selalu ceria. Hari ini adalah hari ini, dan kemudian  berharap esok mentari akan datang dengan gagah, menyambut siang yang kembali menghadirkan semangat yang tak bercelah, dan kemudian malam datang kembali dengan mimpi-mimpi yang indah.

Namaku Oshin, dan aku akan selalu ceria :)

Selasa, 03 Juni 2014

Selamat Datang di Dunia Oshin

Selamat datang di dunia Oshin :)



Namaku Oshin dan aku akan selalu ceria. Aku adalah seorang gadis remaja yang sedag berada dalam masa transisi menuju dewasa. Aku remaja yang masih labil dan sering melakukan hal-hal konyol. Aku ingin mengajak kalian semua untuk lebih mengenalku disini. Aku juga berharap dapat berbagi pengalaman bersama kalian dan berharap kalian bisa menjadi teman baikku.

Umurku 18 tahun sekarang, aku sudah duduk dibangku kuliah tepatnya semester dua. Aku menyukai pagi tapi sulit sekali untuk bangun pagi. Yang selalu kurindukan adalah saat-saat bisa berkumpul bersama keluarga besarku yang kemudian dapat membuatku melupakan semua beban yang ada di benakku. Aku seorang pekerja keras, meski terkadang sering tidak konsisten, Penyakit terparahku adalah rasa malas yang paling sering membawaku kedalam masalah-masalah yang ruwet. Aku juga sangat menyukai tulisan, menyukai kata-kata ajaib yang dapat membuat orang lain bersemangat setelah mendengarnya.
 
Pencinta musik dan seni.Mendengarkan musik adalah terapi bagiku, dan bernyanyi adalah caraku untuk menunjukan apa yang aku rasa. Aku seorang yang penyayang kalian boleh mencobanya sendiri.

Aku juga seorang pemimpi. Sejak aku kecil aku sudah bemimpi, sampai aku sebesar ini aku masih lah seorang pemimpi kelas kakap yang terkadang sering terkucilkan dengan mimpinya sendiri. Oshin yang akan kalian kenal adalah seorang gadis yang bersemangat, selalu berusaha untuk memotivasi dirinya sendiri. Inilah aku Oshin, kalian akan lebih mengenalku nantinya.

Namaku Oshin dan aku akan selalu ceria :)